3 Jan 2011

PKS di Bawah Bayang-bayang Jilbab

pks-di-bawah-bayang-bayang-jilbab
Moh Samsul Arifin
Mencemaskan sekali cara berpolitik tokoh dan aktivis partai di negeri ini. Selain disetir pragmatisme, simbol-simbol agama masih saja dieksploitasi. Yang terakhir jilbab. Kain penutup kepala perempuan Muslim itu masuk panggung politik. Jilbab dikaitkan dengan politik karena dianggapkan bakal menggiring pendukung parpol atau massa Islam untuk mencontreng pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden/wakil presiden.
Kendatipun bukan melekat pada kontestan, jilbab dipandang akan menyetir ke mana arah suara pendukung Partai Keadilan Sejahtera [PKS] yang memang relatif “fanatis” terhadap simbol-simbol agama.
Dan inilah pernyataan yang mengejutkan itu. “Kalau mau jujur sebagian kader PKS hatinya masih mengarah pada JK-Wiranto karena alasan istri dari kedua pasangan ini sangat sederhana dan berjiblab,” ujar Zulkieflimansyah. Inilah yang masih kata Zulkieflimansyah—merujuk pada survei internal PKS—telah membuat tingkat keterpilihan SBY-Boediono dan JK-Wiranto hanya berselisih 10 persen. Dengan kata lain politisi yang pernah membidik kursi Gubernur Banten ini ingin mengatakan di mata pendukung PKS, tingkat keterpilihan SBY menurun dan JK merambat naik.
Lebih jauh kolega Zul, Mahfudz Siddiq berujar, “Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus (baca: menggunakan jilbab). PKS bisa saja menyarankan Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung,” ujarnya seperti dikutip Indo.Pos (27 Mei 2009). Cara ini dinilai akan mengarahkan kader dan simpatisan PKS untuk mencontreng SBY-Boediono, 8 Juli mendatang.
Saya tak tahu apa kepentingan PKS mewacana jilbab jelang Pilpres ini. Publik menerka PKS sedang menghitung ulang dukungannya pada SBY-Boediono, melakukan bargaining terhadap incumbent atau sekadar meneruskan kegelisahan massa pendukungnya. Yang jelas ada yang kontradiktif di sini. Pertama, bagi perempuan Muslim jilbab adalah hal yang substantif. Bentuk ketaatan pada sang Khalik untuk menjaga kehormatan di muka umum. Dan kedua PKS adalah partai berideologi Islam yang seharusnya menjauhi politik citra yang superfisial. Sayangnya partai tarbiyah ini terperangkap pada simbol. Sangat beralasan jika pihak-pihak kritis terhadap PKS menyebut praktik politik ini sebagai upaya PKS memformalkan agama.
Dalam kerangka politik modern penggunaan simbol-simbol agama untuk menarik simpati calon pemilih sesungguhnya tidak mencerdaskan. Ini bisa menyeret publik pada stigmatisasi yang tak perlu terhadap pihak-pihak yang jadi korban atau dikorbankan. Seorang perempuan Muslim disebut baik atau saleh tak bisa disederhanakan dengan jilbab atau kerudung dalam tradisi Muslim moderat ala NU dan Muhammadiyah.
Perdebatan soal ini akan sampai pada wilayah teologis, karena umat Islam berbeda pandangan tentang jilbab ini. Sebagian kalangan menyebut jilbab adalah budaya atau merupakan tafsir atas teks Al Quran. Tapi sebagian lagi menerima jilbab sebagai perangkat yang sudah jadi. Artinya turun dari teks suci dan berlaku wajib bagi perempuan Muslim. Bagi perspektif ini tak memakai jilbab [ini pun masih debatable bentuk seperti apa yang diperintahkan teks itu?] berarti melanggar perintah agama.
Menurut Nasaruddin Umar [2002], jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Sebelum fenomena jilbab menyeruak tahun 1990-an silam, perempuan Muslim di Indonesia lebih banyak menggunakan kerudung untuk menutupi aurat sebagai tafsir atas perintah Al Quran. Berkerudung sudah dianggap cukup bagi kalangan perempuan Muslim NU dan Muhammadiyah. Namun jilbab belakangan kian menggantikan kerudung karena perbedaan tafsir atas apa yang disebut aurat bagi perempuan Muslim.
Begitulah…saking dahsyatnya fenomena jilbab. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mengabadikannya dalam pentas bernama “Lautan Jilbab” yang digelar di Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain pada 1990. Cak Nun pun bersyair:
“Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan. Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan. Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan. Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan. Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan. Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan”.
Ini menjadi semacam deklarasi dukungannya atas keputusan perempuan Muslim memilih untuk menutup auratnya. Begitu pun, Cak Nun tak menjadi fanatik. Nakhoda Kiai Kanjeng ini bahkan tak mewajibkan perempuan yang lantas diperistrinya [Novia Kolopaking] untuk berjilbab. Ia menyerahkan hal tersebut pada sang istri. Cak Nun, sebagaimana juga Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ingin mengajarkan pada Muslim Indonesia bahwa beragama harus substantif. Sesuatu yang formal tidak pasti yang menjadi substansi dari perintah agama.
Buat saya sebagai mesin elektoral PKS telah membuktikan sebagai parpol yang menjanjikan. Terbukti raihan suaranya meningkat dari Pemilu 1999 hingga 2009. Tapi PKS kini “turun pangkat” karena kembali menonjolkan sisi-sisi simbolik agama. Dan ini membuat saya cemas. Jangan-jangan poin yang ditonjolkan dalam buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” [2009] benar adanya? Dalam buku tersebut diudar misi terselubung partai ini untuk mendirikan negara Islam di tanah air.
Ihwal ini segala sesuatunya telah terang. Perdebatan negara Islam tidak relevan lagi, baik dikaitkan dengan NKRI atau tata kelola negara modern. Syariat Islam wajib memandu dan karenanya berlaku bagi setiap Muslim di tataran privat. Suatu yang publik seperti negara [state] tidak ikut serta. Baiklah saya kutip dokumen keputusan PBNU saat menyelenggarakan forum Bahtsul Masa’il, November 2007. Salah satunya menegaskan, “tidak ada nash [teks] dalam Al Quran yang mendasari gagasan tentang negara Islam atau perlunya mendirikan negara Islam. Negara Islam atau Khilafah Islamiyah sepenuhnya adalah ijtihadiyah atau interpretasi Islam”.
Saya berharap hasrat-hasrat seperti itu dapat digugurkan. Karena saya tak pernah bermimpi Indonesia akan jadi negeri mirip Afganistan di masa Taliban yang diceritakan Khaled Hosseini dalam The Kite Runner.
Share and Enjoy:
  • Print
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • blogmarks
  • email
  • LinkedIn
  • Live
  • MySpace
  • Netvibes
  • Reddit
May - 28 - 2009
pks-di-bawah-bayang-bayang-jilbab
Moh Samsul Arifin
Mencemaskan sekali cara berpolitik tokoh dan aktivis partai di negeri ini. Selain disetir pragmatisme, simbol-simbol agama masih saja dieksploitasi. Yang terakhir jilbab. Kain penutup kepala perempuan Muslim itu masuk panggung politik. Jilbab dikaitkan dengan politik karena dianggapkan bakal menggiring pendukung parpol atau massa Islam untuk mencontreng pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden/wakil presiden.
Kendatipun bukan melekat pada kontestan, jilbab dipandang akan menyetir ke mana arah suara pendukung Partai Keadilan Sejahtera [PKS] yang memang relatif “fanatis” terhadap simbol-simbol agama.
Dan inilah pernyataan yang mengejutkan itu. “Kalau mau jujur sebagian kader PKS hatinya masih mengarah pada JK-Wiranto karena alasan istri dari kedua pasangan ini sangat sederhana dan berjiblab,” ujar Zulkieflimansyah. Inilah yang masih kata Zulkieflimansyah—merujuk pada survei internal PKS—telah membuat tingkat keterpilihan SBY-Boediono dan JK-Wiranto hanya berselisih 10 persen. Dengan kata lain politisi yang pernah membidik kursi Gubernur Banten ini ingin mengatakan di mata pendukung PKS, tingkat keterpilihan SBY menurun dan JK merambat naik.
Lebih jauh kolega Zul, Mahfudz Siddiq berujar, “Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus (baca: menggunakan jilbab). PKS bisa saja menyarankan Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung,” ujarnya seperti dikutip Indo.Pos (27 Mei 2009). Cara ini dinilai akan mengarahkan kader dan simpatisan PKS untuk mencontreng SBY-Boediono, 8 Juli mendatang.
Saya tak tahu apa kepentingan PKS mewacana jilbab jelang Pilpres ini. Publik menerka PKS sedang menghitung ulang dukungannya pada SBY-Boediono, melakukan bargaining terhadap incumbent atau sekadar meneruskan kegelisahan massa pendukungnya. Yang jelas ada yang kontradiktif di sini. Pertama, bagi perempuan Muslim jilbab adalah hal yang substantif. Bentuk ketaatan pada sang Khalik untuk menjaga kehormatan di muka umum. Dan kedua PKS adalah partai berideologi Islam yang seharusnya menjauhi politik citra yang superfisial. Sayangnya partai tarbiyah ini terperangkap pada simbol. Sangat beralasan jika pihak-pihak kritis terhadap PKS menyebut praktik politik ini sebagai upaya PKS memformalkan agama.
Dalam kerangka politik modern penggunaan simbol-simbol agama untuk menarik simpati calon pemilih sesungguhnya tidak mencerdaskan. Ini bisa menyeret publik pada stigmatisasi yang tak perlu terhadap pihak-pihak yang jadi korban atau dikorbankan. Seorang perempuan Muslim disebut baik atau saleh tak bisa disederhanakan dengan jilbab atau kerudung dalam tradisi Muslim moderat ala NU dan Muhammadiyah.
Perdebatan soal ini akan sampai pada wilayah teologis, karena umat Islam berbeda pandangan tentang jilbab ini. Sebagian kalangan menyebut jilbab adalah budaya atau merupakan tafsir atas teks Al Quran. Tapi sebagian lagi menerima jilbab sebagai perangkat yang sudah jadi. Artinya turun dari teks suci dan berlaku wajib bagi perempuan Muslim. Bagi perspektif ini tak memakai jilbab [ini pun masih debatable bentuk seperti apa yang diperintahkan teks itu?] berarti melanggar perintah agama.
Menurut Nasaruddin Umar [2002], jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Sebelum fenomena jilbab menyeruak tahun 1990-an silam, perempuan Muslim di Indonesia lebih banyak menggunakan kerudung untuk menutupi aurat sebagai tafsir atas perintah Al Quran. Berkerudung sudah dianggap cukup bagi kalangan perempuan Muslim NU dan Muhammadiyah. Namun jilbab belakangan kian menggantikan kerudung karena perbedaan tafsir atas apa yang disebut aurat bagi perempuan Muslim.
Begitulah…saking dahsyatnya fenomena jilbab. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mengabadikannya dalam pentas bernama “Lautan Jilbab” yang digelar di Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain pada 1990. Cak Nun pun bersyair:
“Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan. Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan. Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan. Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan. Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan. Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan”.
Ini menjadi semacam deklarasi dukungannya atas keputusan perempuan Muslim memilih untuk menutup auratnya. Begitu pun, Cak Nun tak menjadi fanatik. Nakhoda Kiai Kanjeng ini bahkan tak mewajibkan perempuan yang lantas diperistrinya [Novia Kolopaking] untuk berjilbab. Ia menyerahkan hal tersebut pada sang istri. Cak Nun, sebagaimana juga Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ingin mengajarkan pada Muslim Indonesia bahwa beragama harus substantif. Sesuatu yang formal tidak pasti yang menjadi substansi dari perintah agama.
Buat saya sebagai mesin elektoral PKS telah membuktikan sebagai parpol yang menjanjikan. Terbukti raihan suaranya meningkat dari Pemilu 1999 hingga 2009. Tapi PKS kini “turun pangkat” karena kembali menonjolkan sisi-sisi simbolik agama. Dan ini membuat saya cemas. Jangan-jangan poin yang ditonjolkan dalam buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” [2009] benar adanya? Dalam buku tersebut diudar misi terselubung partai ini untuk mendirikan negara Islam di tanah air.
Ihwal ini segala sesuatunya telah terang. Perdebatan negara Islam tidak relevan lagi, baik dikaitkan dengan NKRI atau tata kelola negara modern. Syariat Islam wajib memandu dan karenanya berlaku bagi setiap Muslim di tataran privat. Suatu yang publik seperti negara [state] tidak ikut serta. Baiklah saya kutip dokumen keputusan PBNU saat menyelenggarakan forum Bahtsul Masa’il, November 2007. Salah satunya menegaskan, “tidak ada nash [teks] dalam Al Quran yang mendasari gagasan tentang negara Islam atau perlunya mendirikan negara Islam. Negara Islam atau Khilafah Islamiyah sepenuhnya adalah ijtihadiyah atau interpretasi Islam”.
Saya berharap hasrat-hasrat seperti itu dapat digugurkan. Karena saya tak pernah bermimpi Indonesia akan jadi negeri mirip Afganistan di masa Taliban yang diceritakan Khaled Hosseini dalam The Kite Runner.
Share and Enjoy:
  • Print
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • blogmarks
  • email
  • LinkedIn
  • Live
  • MySpace
  • Netvibes
  • Reddit
  • Slashdot
  • Technorati
  • Tumblr
  • Twitter
  • Wikio
  • Technorati
  • Tumblr
  • Twitter
  • Wikio

Catatan dari Jalur Gaza (2): Terowongan Rafah

catatan-dari-jalur-gaza-2-terowongan-rafah
Mauluddin Anwar
Tiga hari pasca agresi, pusat kota Rafah, Jalur Gaza kembali menggeliat. Suguhan kare ayam dan daging sapi di sebuah rumah makan membuat perut saya tak lagi “berontak”. Tidak seperti aroma umumnya bumbu masak di Timur Tengah yang “menyengat”, racikan bumbu kare Rafah klop banget dengan selera lidah saya yang sangat Sunda. Jam makan siang, meja-meja dipenuhi warga Rafah. Alamak, mereka juga dengan lahap menyesap soft drink Amerika, Coca-cola dan Pepsi! Benak saya langsung melayang ke aksi-aksi sweeping rumah makan waralaba Amerika oleh sejumlah demonstran di Tanah Air kala berdemo menentang agresi Israel. Kemarin, seorang pendakwah muda di Mesir juga dengan menggebu-gebu meyakinkan saya yang menyeruput Pepsi di siang bolong, bahwa Pepsi adalah akronim dari pay every penny to save Israel.
Jika sang pendakwah ini benar, maka sesungguhnya warga Rafah di depan saya tanpa sadar tengah bunuh diri, karena dari setiap kaleng Pepsi yang ia tenggak, ia ikut membiayai pembuatan bom Israel yang mungkin saja suatu saat akan menghajar rumahnya. “Kif dza hasol (kok, bisa-bisanya begini)?” Abu Hamzah, warga Rafah yang menemani makan, tersipu mendengar pertanyaan saya. “Tak ada yang salah dengan minuman itu. Yang keliru adalah kebijakan pemerintah Amerika,” jawaban Abu Hamzah membuat saya tertawa. “Saya akan sampaikan jawaban Anda pada para demonstran di Indonesia yang men-sweeping rumah makan Amerika.” Abu Hamzah manggut-manggut dengan mimik serius dan jempol tangan kanan teracung tanda setuju.
“Suf (lihat), tahukah Anda darimana daging yang kita makan?” Tanya Abu Hamzah. “Dari Amerika juga?” saya langsung menyambar. “Bukan, tapi dari Mesir. Sebagian besar daging kambing dan sapi yang dimakan warga Rafah dibawa kesini melalui terowongan. Bukan hanya daging, melainkan hampir semua barang kebutuhan pokok, hingga bensin dan gas, dipasok melalui terowongan.” Mulut saya menganga. Tadi sepanjang jalan di Rafah, saya memang menyaksikan toko-toko dengan beragam dagangannya, sebagian berstempel made in Egypt. Tapi saya tak menyangka barang-barang itu, seperti kulkas, tv, radio, dipasok melalui terowongan. Malah, menurut Abu Hamzah, daging yang diselundupkan masih berbentuk kambing dan sapi hidup, lalu disembelih di Rafah.
Memang hampir dua tahun warga Jalur Gaza diblokade Israel dari dunia luar. Tujuh pintu keluar melalui perbatasan Israel ditutup. Gerbang Rafah Mesir juga hanya sesekali dibuka, itu pun untuk kebutuhan mendesak saja, seperti warga yang sakit dan tak bisa ditangani rumah sakit di Gaza. Sehingga, praktis, warga Jalur Gaza terisolir sejak pemerintahan Hamas menguasai wilayah ini. Padahal, kehidupan warga dengan segala kebutuhannya mesti berjalan terus. Karena itulah, menurut Abu Hamzah, satu-satunya cara adalah dengan membuat terowongan-terowongan rahasia di perbatasan Rafah-Mesir, yang membentang 11 kilometer, kira-kira sejauh terminal Kampung Rambutan hingga Mampang Prapatan, Jakarta.
Saat agresi 22 hari, Israel membombardir rumah-rumah yang diduga memiliki terowongan rahasia. Pasca agresi, warga Rafah seperti tak jera, kembali mengais-ais terowongan yang ambruk. Saya tidak sempat mendatangi salah satunya. Namun tabloid terbitan Hamas, Ar-Risalah, edisi 25 Desember 2008 – atau 2 hari sebelum agresi Israel, mengulas satu halaman penuh soal bisnis terowongan maut ini. Terowongan maut? Ya, karena untuk menggalinya, dibutuhkan keberanian melawan ancaman kontur tanah berpasir yang rawan ambruk, dan gas beracun yang bisa saja tiba-tiba muncul. Tapi karena menyangkut hajat hidup 1,4 juta warga Jalur Gaza, penggalian terowongan pun menjadi lahan bisnis menggiurkan sebagian warga Rafah yang berani menantang maut.
Menurut Ar-Risalah, rata-rata terowongan memiliki panjang 500 hingga 1.000 meter, membutuhkan waktu penggalian antara 4 hingga 6 bulan. Melibatkan 6-8 pekerja, dikepalai seorang pimpinan proyek. Setiap hari, bisa tergali antara 6 hingga 8 meter, dengan kedalaman 5 meter lebih dari permukaan tanah. Mau tahu berapa honor sang pekerja? Ini yang membuat ngiler. Sang pimpinan proyek bisa memperoleh 300 hingga 500 dolar perhari , sedangkan para pembantunya mendapatkan antara 30-50 dolar saja. Tugas sang pimpro memang berat: Selain menyediakan alat penggalian, juga harus matang menentukan arah penggalian dan menghindari tanah yang rawan runtuh. “Sudah banyak kawan kami yang terkubur saat menggali terowongan. Tapi kami akan jalan terus, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata seorang pimpro kepada Ar-Risalah.
Entah berapa puluh atau ratus terowongan di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir. Tidak ada yang tahu persis jumlahnya. “Kalau Anda hitung berapa barang-barang yang mengalir ke Gaza melalui terowongan itu, Anda bisa perkirakan jumlahnya,” kata Abu Hamzah. Saya tak bisa menebak-nebak. Yang saya lihat di sepanjang Jalur Gaza, hanya perkebunan buah dan palawijanya yang subur. Artinya, mungkin warga Gaza hanya bisa berswasembada untuk kebutuhan sayuran dan buah-buahan. Sedangkan barang-barang yang dijajakan di toko, mulai alat elektronik, alat sekolah, hingga kebutuhan rumah tangga, tak satu pun saya melihat pabriknya di Gaza. Tentu ada juga barang-barang yang diimport ke Gaza secara resmi melalui gerbang perbatasan. Tapi menurut Abu Hamzah, prosesnya sulit dan berliku, sehingga terowongan menjadi jalan pintas.
Selama 22 hari agresi, Israel membombardir rumah-rumah di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir, yang diduga memiliki terowongan. Israel menuding dari terowongan itulah Hamas mendapat pasokan senjata dari dunia luar, khususnya – menurut Israel — dari Iran dan Suriah. Benarkah? “Siapa yang bisa menjamin tidak ada pasokan senjata melalui terowongan? Tapi terowongan bagi warga Rafah dan Gaza lebih penting dari itu. Terowongan adalah urat nadi hidup kami. Selama Israel memblokade Jalur Gaza dari dunia luar, bisnis terowongan akan kembali menjamur. Buka dulu blokade, lama-lama terowongan itu akan menjadi sejarah yang dilupakan warga Rafah.” Saya manggut-manggut mendengar jawaban Abu Hamzah.
Share and Enjoy:
  • Print
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • blogmarks
  • email
  • LinkedIn
  • Live
  • MySpace
  • Netvibes
  • Reddit
  • Slashdot
  • Technorati
  • Tumblr
  • Twitter
  • Wikio